Lingkungan Baru, Perspektif Baru
Sudah masuk minggu kedua setelah perpindahan kamar antar fakultas dan program studi, dan di dua minggu awal kebersamaan di kamar ini, perspektif gua berubah seiring dengan perubahan lingkungan gua.
Awalnya, gua sangat menghindari sekamar sama temen prodi (temen kelas). Kenapa? karena dari yang gua rasain di semester 1 dan dari apa yang gua pikirkan, sekamar sama temen kelas itu membuat ruang gerak gua semakin terbatas dan menyempit. Bukan menyempit dalam artian gimana-gimana, tapi maksud disini adalah gua merasa gerak-gerik gua diawasi terus, apalagi kalau gua keliatan mulai ngetik-ngetik di laptop. Ahahaha, geer banget sebenernya, bisa jadi gak dilihatin padahal. Tapi bener deh, rasanya risih banget setiap buka buku sedikit dan kelihatan belajar atau ngetik-ngetik sesuatu pasti langsung di "husnudzon" in lagi belajar atau nugas. "ih, pasti lagi nugas, ya?" atau "ih dia mah belajar coba". Dan gua gak nyaman banget di celetukin kayak gitu.
Mungkin rasa gak nyaman itu datang dari perasaan 'kompetitif' yang gua miliki saat itu, bukan karena gua gak suka sama orang tertentu yang nyeletuk kayak gitu. Saat itu, gua punya banyak banget target, planning yang harus gua capai di semester itu dan gua harus mengupayakannya. Gua harus menyelesaikan tugas secepat mungkin, harus belajar sebanyak mungkin, harus banyak memahami lagi, dan banyak yang lainnya. Dan gua merasa, sekamar sama temen kelas itu adalah hambatan untuk gua mencapai target akademik gua, bukan malah membantu. Ya itu, karena gua merasa celetukan-celetukan kayak gitu mengganggu mood gua banget yang bakal berpengaruh juga ke belajar gua.
Gua pengen banget bisa belajar dan nugas dengan tenang, tanpa dibawelin, tanpa diganggu. Ya gua mikirnya, daripada orang itu nyerocos terus mending buka laptop terus ngerjain juga gak, sih? Iya kan?
Disclaimer lagi ya, perasaan ini muncul karena jiwa kompetitif gua yang saat itu lagi berapi-api. Bukan karena gak seneng sama orang itu.
Kompetitif ama egois kaitannya erat banget. Orang yang kompetitif pasti egois, karena dia merasa sedang berada di arena kompetisi yang harus dimenangkan. Namanya kompetisi, pasti ada yang menang dan kalah, bukan berbagi, bukan win-win.
Gua melakukan itu semua karena gua merasa bertanggung jawab sama apa yang gua ambil, yaitu kuliah. Gua merasa harus menggunakan previledge yang Allah beri melalui perantara rezki Abi Umi dengan sebaik-baiknya, semua ini gak boleh sia-sia karena kemalasan. Rasanya konyol banget kalau sampai semua ini sia-sia karena males. Naudzubillahimindzaalik. Gua saat itu oke berteman dengan siapa saja, oke juga kerja kelompok dengan siapa saja, oke juga bersosialisasi bersama, asyik bareng, belajar bareng, diskusi bareng. Tapi, gua pikir, gua juga butuh waktu untuk belajar sendiri, memahami sendiri, latihan sendiri, sebelum gua belajar bersama. Iya, oke diskusi bersama, tapi bagi gua, untuk gua bisa mencapai tingkatan pemahaman tertentu gua harus belajar sendiri dulu dengan fokus sebelum gua mendiskusikannya dengan teman-teman yang lain.
Dan waktu untuk belajar sendiri itu mau gak mau ya di sela-sela waktu kosong gua dan itu di kamar.
Dan kalau di kamar saja ada yang ganggu, terus kapan gua belajarnya?
Ini salah satu kekurangan punya banyak roomate. Kelebihannya tapi juga banyak, salah satunya sering diingatkan dalam banyak hal.
Gua juga gak suka sekamar atau sebelahan kamar sama teman sekelas karena sering terjadi fenomena “tunggu-tunggu-an”. Misalnya, gua mau berangkat kuliah 30 menit sebelum jam pelajaran. Entah itu gua mau mampir dulu, jajan sesuatu, atau sekedar mau berangkat awal saja. Tapi, kalau gua sekamar sama teman kelas dan anaknya gasuka jalan sendiri, terpaksa gua yang tadinya sudah punya planning tertentu harus nungguin orang lain. Dan gua benci itu. Sebagai orang ambivert yang juga suka bergaul dan banyak omong, gua juga butuh waktu untuk sendiri, diam, dan bengong lalu larut dengan isi kepala gua. Dan waktu ketika gua jalan menuju kelas atau jalan pulang setelah kelas adalah waktu yang paling gua suka untuk jalan sambil melamun atau sekedar diam dan lihat-lihat sekitar. Tapi, ketika gua harus jalan berdua atau bahkan lebih, mau gak mau gua harus menanggapi ocehan orang lain yang kadang menurut gua gak penting dan gua gamau tahu sama sekali. Wkwkwk, egois banget ya gua hahaha.
Part paling nyebelin adalah ketika sudah mepet waktu kuliah, gua sudah siap tapi masih harus nungguin orang. Kayak, bisa gak kalau mau telat gausah ngajak-ngajak 🫵🏻
Dan kabar akan ada perpindahan kamar per-prodi 3 minggu lalu cukup membuat gua shik-shak-shok. Langsung bikin overthinking hahaha.
Ya, akhirnya pindah kamar juga 😊
Gua sekamar dengan 2 teman kelas gua (semester 3) dan banyak semester lainnya. Karena kamar kita sekelas jadi samping-sampingan, otomatis kita sering kumpul di salah satu kamar entah itu untuk makan, ngobrol, curcol, sampe ngegabut bareng. Dan pemikiran gua tentang ‘sekamar dengan teman kelas’ perlahan mulai berubah.
Mulai muncul perasaan ‘teman sepernasiban’ yang bikin ego komptitif berubah jadi suportif. 24 jam bersama mereka mengubah pemikiran gua yang dulu jadi “loh, tertanya baik-baik saja, loh sama mereka” gua mulai merasakan kehangatan yang tercipta setiap kali kita kumpul-kumpul walau hanya ngobrolin hal gapenting. Ternyata, nyaman juga ya sama mereka.
Kenapa gua pakai kata sepernasiban? Karena ya memang senasib. Nasib menjadi adik terkecil di kamar dengan kuantitas paling sedikit juga seringkali membuat kita merasa sedikit terdiskriminasi. Bukan diskriminasi dalam hal yang besar, cuma hal-hal sepele sebenarnya, hal remeh-temeh. Tapi dari hal remeh-temeh itu agaknya yang kemudian membesarkan hati gua lama-kelamaan. Dan dari sini, gua yakin kalau quality time itu memang bisa mengubah pandangan seseorang terhadap sesuatu, walau semakin sering interaksi sebenarnya juga mendekatkan kepada konflik. Tapi, bukannya terkadang dari konflik itu setelahnya hubungan jadi semakin erat dan hangat?
Jiakh
Suportif alih alih kompetitif. Seimbang antara interaksi dan akademik. Cara belajar gua masih tetap gua pertahankan sampai saat ini, cuma jadi lebih suportif saja. Suportif dalam artian disini adalah, yaudah kalau mau belajar ya tinggal belajar saja, kalau mau nugas ya tinggal nugas aja. Gaperlu gondok kalau diganggu, tapi justru ngajak supaya selesai bareng. Sebenernya sesimple itu, tapi gua yang kemarin belum paham itu.
Semoga setelahnya perubahan lingkungan ini akan terus membawa dampak positif lainnya 🫶🏻🥰
Love,
HI 2023